Potret 78 Tahun RI : Bhinneka “Tinggal Papa” ?
SUARAGPI – Untuk sebuah umur manusia maka usia 78 tahun Republik Indonesia maka merupakan usia menua. Tapi bila dibandingkan dengan usia bernegara atau pemerintahan maka 78 tahun baru hanya perjalanan 3 generasi, sebuah usia yang masih sangat muda.
Dulunya negeri ini dikenal dengan Melayunesia yang merupakan representatif ras yang menempati , namun dipopulerkan pengacara dan ahli geografi Inggris, James Richardson Logan dan Goerge Windsor Earl sebutan “Indonesia” pada tahun 1850 menggemalah penamaan Indonesia itu hingga sekarang. Sebuah kata yang lebih berkiblat pada cerminan negeri dengan wilayah kepulauan India, sebuah penamaan yang sangat debatable.
Dahulunya negeri yang kita tempati ini terdiri dari beragam kerajaan yang silih berganti , tapi sebagai efek dari penjajahan dan kesadaran perlunya kebersamaan untuk mengalahkan penjajah, nasionalisme Indonesia menguat dengan Islam sebagai arus utamanya dengan bhinneka tunggal ika sebagai semboyannya.
Sayangnya semboyan bhinneka tunggal ika tersebut hari ini menjadi potret bhinneka “tinggal papa”. “Tinggal papa” maksudnya menjadi kaum jelata , dari Sabang hingga Marauke potret kemarjinalan dan jelata mewarnai dan jadi gambaran sehari-hari di mata warganya dan orang asing yang datang.
Kekayaan emas dan hutan di Papua tidak membuat masyarakatnya maju. Kalimantan penuh dengan batubara tapi hutan yang rusak , lingkungan yang tercemar serta kemiskinan yang tinggi jadi potret harian wilayahnya.
Tambang di Sulawesi harusnya bisa mensejahterakan rakyat demikian juga di NTB. Minyak bumi di Jawa dan Sumatera semestinya bisa memakmurkan rakyat. Tapi yang kita dapatkan hari ini tingginya tingkat kemiskinan di Negeri ini.
Kesadaran berbangsa yang dulu digaungkan para proklamator , pejuang dan syuhada’ saat ini malah negerinya dikuasai para bandit oligarkhi. Meminjam bahasa Budayawan Taufik Ismail, oligarkhi ini bershaf-shaf dengan rapi menjarah negeri ini, memastikan tiap jengkal negeri ini harus ditangan mereka.
Maka tidak heran bila kita lihat minyak dan tambang lainnya milik kita tapi yang kaya singapura, amerika, cina dan negara asing lainnya. Mereka tidak punya sumber daya melimpah tapi lewat lobby dengan para penguasa yang berlaku seperti mafioso mereka berhasil menguasai negeri ini.
Disinilah kemudian akhirnya rakyat sanggup bunuh-bunuhan hanya untuk sejengkal tanah untuk bertahan hidup, para pedagang kaki lima harus berhadapan dengan petugas yang sama dengan dia warna kulitnya agar bisa berjualan agar anak-anaknya bisa makan. Secara social reality kita sebenarnya sudah paripurna porak poranda sebagai bangsa.
Yang mempertahankan negeri ini hanya tinggal perasaan bersama saja, senasib sepenanggungan. Karena jika dilihat dari potret keseharian maka tidak ada perbedaan berarti. Dari Sabang hingga Marauke angka kemelaratan masih sangat tinggi bahkan untuk menuju sekolah masih banyak yang harus bertaruh nyawa karena akses transportasi yang buruk di pedalaman.
Itulah potret indonesia kita hari ini. Cita-cita proklamasi bak jauh panggang dari api. Potret bangsa kita persis perlombaan di hari kemerdekaan, berebut makanan meski hanya kerupuk, berebut hadiah padahal paling tinggi hanya sepeda dan itu pun bisa tetap tertawa.
Sungguh berbahagialah hari ini para durjana karena bangsa yang berbhinneka tunggal ika ini masih bisa dikendalikan meski mereka berpesta pora ditengah penduduk negeri yang mereka garap dipenuhi rakyat jelata. Pertanyaannya sampai kapan kesabaran penduduk negeri itu bisa menahan kesabaran dan terus “tinggal papa” ?
Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Islam (GPI) Sumatera Utara